PERSPEKTIF – Awal pekan pasca membahas HUT Kotamobagu yang memang menarik beberapa hari terakhir ini, boleh juga rasanya sekedar untuk hangatkan suasana, maka jelang pelantikan KADA yg dipercepat selama tak bersengketa di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam momentum Pilkada Serentak Pemprov, Pemkab dan Pemkot se Indonesia termasuk kita di Sulawesi Utara, saya akan coba bercerita tentang permainan “halma”.
Tulisan ini telah mengarsip cukup lama di salah satu file dalam dokumen tempat saya mengendalikan aliran pikiran yang berlomba keluar seperti air hujan yg kadang deras lalu gerimis dan menjadi rinai atau sebaliknya.
Istilah strategi “bermain halma” dalam pemenangan kontestasi politik dikenalkan oleh Cagub Yulius Selvanus Komalig atau yang lebih populer dengan singkatan YSK, pasca kemenangannya berdasarkan hitung cepat.
Saat itu YSK menjawab bagaimana dirinya dan tim meraih kemenangan yang fenomenal tersebut.
Halma merupakan permainan yang dulu sering dimainkan oleh anak-anak hingga orang dewasa, termasuk saya diantaranya.
Halma merupakan permainan yg diimpor dari negeri Paman Sam (USA) atau tepatnya ditemukan pertama kali oleh seorang dokter ahli bedah toraks di Harvard Medical School (George Howard Monks) pada tahun 1883/1884.
Halma yang artinya lompatan merupakan permainan papan strategi dengan cara memindahkan sekelompok batu dari satu sisi ke sisi lainnya dengan cara melompati jalur yg disiapkan/dikondisikan secara apik dan tepat, dan siapa yang paling cepat, dialah pemenangnya.
Maka kemampuan memenangkan kontestasi politik dengan pendekatan strategi bermain halma menjadi unik dan merupakan kosakata baru dalam dinamika politik regional Sulawesi Utara dari umumnya strategi bermain catur atau sepakbola yang cukup familier.
Strategi ini makin menarik dibahas, sebabnya adalah lompatan biduk halma bukan hanya menggunakan jalur batunya sendiri, dapat pula memanfaatkan biduk lawan bila terbuka jalan dengan pengkondisian tertentu sebagai strateginya, maka kecepatan bisa diraih yang pada akhirnya dapat menang dengan terduga ataupun tidak.
Strategi ini rupanya berhasil membuat koalisi Parpol besar jadi tidak linear selain variabel ikutan lainnya.
Tentu saja, dapat menimbulkan spekulasi dan persepsi namun bila seluruh point biduknya telah terkumpul dan dinyatakan menang, maka itulah akhirnya.
Dari perilakunya, strategi ini bersifat gotong royong, olehnya akan melahirkan sikap akomodatif karena beban kerjanya yang tinggi dan cepat yang harus memastikan semua biduknya sampai.
Karrna itu harus dipastikan strategi yang digunakan memiliki kesamaan arah dan pandangan, dimana pola ini tidak mengorbankan biduknya sendiri ataupun biduk lain, hanya langkah lawannya saja yg dihambat.
Dengan strategi ini, kontestasi politik yang memang dinamis semakin manis bagi penikmatnya, dibutuhkan kematangan emosi dalam menjaga harmoni dan rasionalitas, agar tidak terjebak dalam langkah biduk bila strategi halma dimainkan.
Politik kelembagaan dalam bernegara menarik dipelajari dan tampaknya terus tumbuh mencari pola idealnya dari moment ke moment politik.
Inta
Penulis: Mohammad Julianto